Senin, 07 Januari 2008

Pendidikan Budi Pekerti

Pendidikan Budi Pekerti, Perlukah?

BELAKANGAN ini, ide tentang perlunya pendidikan budi pekerti untuk kembali dimasukkan ke dalam kurikulum Sekolah Dasar kembali hangat dibacakan. Hal ini terkait dengan kasus perkelahian yang terjadi baru-baru ini antara para siswa SMP negeri yang notabene merupakan sekolah-sekolah yang cukup terpandang di Denpasar. Semoga lontaran ide tersebut bukan merupakan lontaran yang hanya bersifat "hangat-hangat tahi ayam" saja.

Sebagai sebuah ide, perlunya pendidikan budi pekerti kini bukan ide yang sangat baru. Sebagaimana diketahui, pendidikan budi pekerti ini dulu pernah menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib ditempuh pada kurikulum era Orde Lama. Kalau seseorang bertanya pada ayah dan ibunya, tentunya orangtua mereka itu akan sangat mengenal mata pelajaran yang satu ini. Perubahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru tentu sangat mempengaruhi kebijakan dalam dunia pendidikan. Pendidikan budi pekerti dihapuskan dan diganti dengan mata pelajaran yang dianggap lebih "berguna" bagi masa depan anak. Kurikulum sekolah lebih mengarah pada bagaimana "mencetak" anak didik menjadi tenaga-tenaga terampil dan "siap pakai" agar nantinya bisa bekerja di perusahaan-perusahaan modal asing.

Beberapa hal penting yang seringkali terabaikan adalah bahwa sebenarnya pendidikan adalah suatu proses yang integratif antara pembinaan kogniti, afektif dan psikomotorik. Pendidikan masa kini, yang masih merupakan warisan kurikulum era Orde Baru, lebih menekankan pada aspek kognitif atau keilmuwan saja. Aspek afektif atau yang dikenal orang sebagai pendidikan moral dan budi pekerti cenderung terabaikan.

Begitu pula dengan aspek psikomotorik, sekolah masih kurang memberikan pengasahan ketrampilan, termasuk di dalamnya kesenian, sesuai dengan bakat dan minat siswa. Padahal, menurut teori psikologi pendidikan, aspek afektif dan psikomotorik merupakan penyeimbang dari aspek kognitif. Jika pendidikan yang menekankan pada aspek kognitif atau keilmuan lebih banyak mengasah kemampuan otak kiri, maka pendidikan yang menekankan pada aspek afektif dan psikomotorik akan mengasah perkembangan otak kanan. Dalam teori psikologi, otak kanan sangat berperan dalam perkembangan emosional dan intuisi atau kepekaan rasa seseorang.

***

Pendidikan seni dapat menjadi salah satu penunjang pendidikan afektif dan psikomotorik. Memang mata pelajaran kesenian ini ada di setiap sekolah, tapi terkesan tidak menjadi prioritas utama dalam kurikulum sekolah. Terbukti dengan tidak dimasukkannya mata pelajaran ini ke dalam salah satu mata pelajaran Ebtanas yang merupakan salah satu faktor penentu kelulusan siswa. Padahal, dengan berkesenian, siswa lebih memiliki keleluasaan untuk mengekspresikan diri dan perasaannya, apapun jenis dan bentuk kesenian yang digeluti. Siswa pun lebih terasa kehalusan perasaannya sehingga lebih cenderung menghindari hal-hal yang bersifat kekerasan.

Sesungguhnya, pendidikan moral dan budi pekerti ini bisa disisipkan dalam pendidikan seni. Salah satu contoh, unsur nilai-nilai moral dapat dimasukkan ke dalam pendidikan seni rupa. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa-siswa melakukan perjalanan ke alam bebas dan mengeksplorasi alam serta lingkungannya untuk diamati dan dilukis. Di sini akan timbul kepekaan dan apresiasi terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Nilai-nilai dan pesan-pesan moral bisa dimasukkan ke dalam aspirasi terhadap lingkungan ini. Tentunya pendidikan seni ini akan lebih efektif bila diberikan sedini mungkin pada anak, misalnya sejak masa prasekolah atau sejak anak masuk Taman Kanak-kanak.

***
Selain itu, tak kalah penting adalah terbangunnya komunikasi yang baik antara pendidikan dan anak didik. Selama ini terbangun kesan bahwa ada semacam tembok pemisah antara murid dan guru, sehingga komunikasi yang baik antara anak didik dan pendidik jarang bisa terbangun dalam lingkungan sekolah. Alangkah lebih baiknya bila komunikasi antara siswa dan guru bisa terjembatani dengan baik. Dalam hal ini guru pun bisa menempatkan diri sebagai teman curhat sang murid, sehingga bila ada masalah di sekolah, sampai ke masalah pribadi pun, murid bisa mengkomunikasikannya dengan guru.

Salah satu konsep yang pernah ditawarkan oleh institusi pendidikan adalah adanya guru BP. Guru BP inilah yang berperan sebagai komunikator dan konselor bagi siswa, terutama bila ada masalah dengan siswa. Tetapi entah mengapa, dalam perkembangannya, guru BP terkadang malah menjadi semacam "momok" bagi siswa, bukan idealnya sebagai "teman curhat". Seakan-akan guru BP ini tercipta untuk menjadi "hakim" bagi murid yang bermasalah. Sehingga, kembali tercipta "jurang pemisah" antara guru dan murid.

Terlepas dari apa dan bagaimana bentuknya yang nanti diberikan dalam proses pendidikan kita, tampaknya memang pendidikan budi pekerti makin penting diberikan kepada anak-anak didik masa ini. Terutama untuk menghadapi gencarnya arus informasi dari luar melalui media massa kita. Jika kita amati sekarang ini, makin banyak unsur-unsur kekerasan yang mewarnai dunia hiburan. Mulai dari film action Barat sampai dengan film kartun anak-anak yang diimpor dari Jepang. Semuanya notabene penuh dengan warna kekerasan fisik dan mental berupa perkelahian, pemukulan dan penembakan. Kekerasan dalam dunia hiburan kita seakan telah menjadi bumbu penyedap yang harus senantiasa ada dalam setiap bentuk tontonan, baik bagi anak maupun orang dewasa. Hal ini secara langsung maupun tidak, akan mempengaruhi mental dan psikologi anak. Anak akan cenderung agresif dan menyukai kekerasan dan perkelahian fisik dan mental.

Pendidikan memang tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sekolah. Tetapi kesuksesan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah semata. Kerjasama yang baik antara orang tua, pihak sekolah dan masyarakat, termasuk juga di dalamnya media massa kita akan sangat berpengaruh pada pembentukan sikap karakter anak untuk masa depannya.

* henny handayani

Tidak ada komentar: